Welcome Comments Pictures

Rabu, 24 Mei 2017

Akuntansi Internasional - Tugas 3

Nama : Kamila Azhar
NPM : 24213757
Kelas : 4EB10

Artikel 1 - Memahami Persoalan Pajak Global

Persoalan terkait pajak internasional seperti persaingan pajak (tax competition), negara tax haven, serta ketimpangan distribusi pendapatan kerap kali merugikan baik negara maju, dan terutama negara berkembang. Lantas, bagaimanakah para pengambil kebijakan menyikapi hal ini?

Buku bertajuk Global Tax Fairness ini memaparkan usulan dari berbagai kontributor ahli untuk memperbaiki sistem pajak internasional. Buku terbitan Oxford University Press pada tahun 2016 ini sangat menarik karena solusi yang ditawarkan tidak terbatas hanya pada solusi yang sering dibahas oleh organisasi internasional seperti OECD, namun juga usulan yang mungkin sedikit asing atau tidak pernah digagas sebelumnya.

Dalam salah satu bab, Vito Tanzi menjelaskan perlunya dibentuk Otoritas Pajak Global (Global Tax Authority). Menurutnya, dalam era globalisasi di mana telah banyak muncul organisasi internasional yang menangani berbagai isu, belum ada sebuah organisasi yang mengatur hubungan perpajakan antarnegara, menangani masalah persaingan pajak, serta membatasi kesempatan untuk melakukan penghindaran pajak secara global (global tax evasion).

Nantinya, terdapat sembilan fungsi otoritas ini, mulai dari mengidentifikasi permasalahan di bidang pajak internasional, mengumpulkan informasi dan statistik perpajakan dari berbagai negara serta memublikasikannya dalam sebuah laporan, sampai yang paling penting yakni membuat sistem pengawasan kebijakan pajak di berbagai negara.

Vito Tanzi berpendapat bahwa tanpa adanya institusi seperti Otoritas Pajak Global, permasalahan terkait kompetisi pajak yang tidak adil dan penghindaran pajak akan selalu ada.

Buku yang disunting oleh Thomas Pogge dan Krishen Mehta ini menekankan persaingan pajak (tax competition) adalah sebuah isu serius, karena merupakan suatu obsesi yang berbahaya. Berbagai negara bersaing untuk menurunkan tarif pajak mereka, memperkecil basis pajak, serta melemahkan pelaksanaan peraturan pajak (race to the bottom). Persaingan pajak kemudian dianggap membuat arus investasi terfokus pada wilayah yang menyediakan berbagai insentif daripada wilayah dengan produktifitas ekonomi yang tinggi.

Pentingnya isu persaingan pajak juga diulas oleh Michael C. Durst dalam artikelnya. Menurutnya, menurunnya tarif pajak badan memiliki pengaruh yang besar bagi negara berkembang. Jika negara maju dapat mengalihkan beban pajak tersebut kepada sektor lain seperti pajak individu atau pajak konsumsi, penerimaan pajak negara berkembang cenderung bertumpu pada pajak badan.

Hal ini disebabkan karena perekonomian negara berkembang masih didominasi oleh sektor informal dengan pembukuan sederhana yang sulit untuk memfasilitasi kebutuhan otoritas pajak atas laporan pajak.

Selain pembahasan di atas, terdapat usulan-usulan lain seperti Financial Transaction Tax (FTT) dan pajak untuk kekayaan anonim (Anonymous Wealth Tax) sebagai solusi untuk mengurangi permasalahan distribusi pendapatan.

Usulan pemajakan atas “kekayaan tak bertuan” terbilang unik karena pemilik harta dapat mengambil kembali sebagian porsi pajak tersebut saat ia telah menyelesaikan kewajiban perpajakan dalam negeri dan aset yang dimiliki di negara lain berasal dari sumber yang sah. Pendapatan dari pajak tersebut kemudian akan dialokasikan untuk membiayai penanganan isu global seperti perubahan iklim sebagai kompensasi atas penghindaran pajak yang telah dilakukan.

Sebagai penutup, terdapat pemaparan mengenai 10 cara bagi negara berkembang agar dapat menarik investasi asing sekaligus mempertahankan kedaulatan pajaknya.

Selain rekomendasi untuk menghindari persaingan pajak dan insentif pajak, penulis memberikan usulan lain kepada negara berkembang, mulai dari usulan untuk lebih berhati-hati dalam menyepakati perjanjian bilateral pajak atau tax treaty, mengenakan withholding tax bagi non-residen, mengatur sebuah kesepakatan yang adil dengan investor di industri ekstraktif, penggunaan profit split method dalam transfer pricing, sampai saran untuk memajaki sektor informal.

Secara keseluruhan, para kontributor mengajak pembaca untuk semakin peduli dengan permasalahan pajak internasional dan dampaknya terutama terhadap negara berkembang. Buku ini sesuai untuk dibaca para pengambil kebijakan dan tersedia di DDTC Library.


Artikel 2 - Mau Lolos dari Pemeriksaan Pajak, Ikut Pembetulan SPT

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan menyatakan, Wajib Pajak (WP) dapat membetulkan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak agar terhindar dari pemeriksaan pajak dan sanksi. Ditjen Pajak tengah menjalankan penegakan hukum sesuai Pasal 18 Undang-Undang Pengampunan Pajak usai tax amnesty.

“Sepanjang dia tidak ikut tax amnesty masih bisa pembetulan SPT. Tapi kalau sudah ikut, ya tidak bisa pembetulan SPT Tahun 2015 ke belakang,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama di Jakarta, Rabu (24/5/2017).

Dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) Pasal 8 disebutkan, Ayat (1) WP dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPT yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis dengan syarat Ditjen Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.

Selanjutnya, Ayat (1a) dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 tahun sebelum kedaluwarsa penetapan.

Ayat (2) menjelaskan Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 persen per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan.

Ayat (2a), dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 persen per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan.

“Pembetulan tentunya harus SPT beberapa tahun ke belakang, sesuai kondisi riilnya, penghasilan harus dibetulkan, harta yang belum dilaporkan, dibetulkan, dan kalau ada pajak yang harus dibayar, ya dibayarkan,” Hestu Yoga menerangkan.

Katanya, WP yang ingin melakukan pembetulan SPT dapat langsung datang ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP), di mana tempat WP terdaftar. “Datang saja ke KPP masing-masing,” tandas Hestu Yoga.


Artikel 3 - Pungutan Pajak Harus Berasas Keadilan

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menegaskan pengenaan pajak kepada masyarakat harus berasaskan keadilan. Ini untuk membedakan masa kini dengan zaman kolonial seperti dituliskan Raden Ajeng Kartini dalam suratnya.

Hal tersebut disampaikan Sri Mulyani pada peringatan Hari Kartini di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (28/4/2017).

S‎ri Mulyani menuturkan, Kartini dalam suratnya menceritakan tentang pungutan pajak yang dilakukan penjajah ke penduduk pribumi sangat tidak adil.

Ketidakadilan itu terlihat dari pungutan pajak kepada penduduk yang memiliki pendapatan kecil justru lebih besar ketimbang mereka yang berpendapatan besar. Kondisi ini menimbulkan penderitaan bagi rakyat.

“Surat Kartini mengenai pajak, hidup di era kolonial yang pendapatan kecil bayar pajak lebih banyak. Dan dia tidak bisa lari, dia di situ bayar pajak di situ,” kata Sri Mulyani.

Dia pun mengaitkan kondisi tersebut dengan kinerja Kementerian Keuangan, khususnya terkait pemungutan pajak. Menurut dia, pemungutan pajak harus berasaskan keadilan dengan memihak pada rakyat kecil.

“Kalau kita ingin mengoreksi ketidakadilan, maka pajak kita harus mampu di satu sisi memihak bagi keluarga yang lemah,” dia menambahkan.

Menurut dia, keadilan dalam pemungutan pajak adalah dengan menerapkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan mengoptimalkan pemungutan pajak pada kelompok yang mampu.

“Dengan PTKP kita memberikan pemihakan dalam belanja negara untuk melindungi keluarga lemah. Namun petugas pajak juga harus sama efektifnya memungut pajak kelompok yang mampu,” ujar Sri Mulyani.